Saturday 7 April 2012

Resensi | Historiografi Sastra Indonesia


Judul          : Historiografi Sastra 
                     Indonesia 1960-an
Penulis        : Asep Sambodja
Penerbit      : Bukupop
Halaman     : 212
Thn. Terbit  : 2010


  _____




Sejarah yang Hilang

Oleh: Wahyu Awaludin*

|“Ada yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an...”
-Asep Sambodja dalam
Historiografi Sastra Indonesia 1960-an halaman 4

Tanggal 17 Agustus 1950, D.N Aidit, Njoto, M.S.Ashar, dan A.S Dharta mendirikan sebuah organisasi bernama Lekra. Sayang, akibat huru-hara 1965-an yang menjadi tonggak awal berdirinya Orde Baru, Lekra dilarang. Para sastrawannya dihilangkan dari sejarah sastra Indonesia “versi resmi”. Tengoklah buku-buku sejarah sastra “versi resmi”. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern karya Pamusuk Eneste misalnya, sama sekali tak mencantumkan nama-nama pengarang Lekra. Seolah pengarang Lekra adalah para penjahat yang harus dibasmi dari sejarah.

Perlu enam bulan penelitian dan berkeliling ke Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung untuk merampungkan buku ini. Dan itu dilakukan Asep Sambodja saat ia sakit. Buku yang terbit pada tahun 2010 ini membuka tabir “sejarah yang hilang tersebut” ke dalam pentas kesusastraan Indonesia secara terang-terangan.


Bagi Sambodja, tak ada alasan untuk menyembunyikan sejarah sastra.  Sambodja meyakini bahwa dalam menulis sejarah sastra Indonesia, subyektivitas tiap penulis pasti muncul dengan sendirinya. Namun, sebagai akademisi, seharusnya penulis (sejarah sastra) menempatkan diri di tempat yang lebih independen. Kita harus adil pada kedua belah pihak, baik Lekra maupun Manikebu. Dan langkah konkretnya adalah melepaskan “belenggu” dari karya-karya para sastrawan Lekra.

Saat karya-karya itu lenyap –atau sengaja dilenyapkan- dari buku-buku pelajaran, lenyap dari tanah airnya sendiri, kita telah kehilangan aset budaya yang luar biasa besarnya. Dengan entengnya kita memberangus naskah-naskah itu, sementara pemerintah Belanda bersusah-payah mengangkut naskah kuno kita ke Leiden (hal.45). Sastrawan menciptakan sebuah cerita dengan persepsi yang ia miliki –tidak terasing dengan kondisi sosial politik pada saat itu. Oleh karena itu, karya-karya para sastrawan Lekra sebenarnya dapat menjadi salah satu alternatif dalam memahami sejarah sastra Indonesia khususnya –dan sejarah Indonesia umumnya. Bab-bab dalam buku ini menjelaskan itu semua.

Buku ini terbagi menjadi lima bagian. Setelah bab Pendahuluan, Asep Sambodja menjelaskan dengan gamblang apa itu Lekra, Manikebu, dan apa konsep kesenian mereka. Setelah itu, di bab selanjutnya, Asep  Sambodja menerangkan asal-muasal perselisihan Lekra-Manikebu. Bab selanjutnya menampilkan beberapa profil sastrawan Lekra dan pembacaan kritis atas karya-karya mereka. Lalu Asep Sambodja menutup buku ini dengan harapan bahwa “seluruh warga bangsa dapat menerima dan benar-benar menghargai perbedaan” (hal.196).

Melihat penulisnya yang seorang dosen Sastra Indonesia FIB UI, kualitas buku ini memang tak perlu diragukan lagi. Analisisnya tajam tetapi cukup moderat dalam memandang kedua belah pihak. Dengan referensi kira-kira berjumlah 162 buku, buku ini berkelas dan patut menjadi rujukan. Kajian kritis terhadap karya-karya sastrawan Lekra-nya pun sangat bagus dan menambah banyak wawasan kita. Banyak nama sastrawan yang mungkin baru kita dengar muncul dalam buku ini, menandakan memang ada periode “yang hilang” dalam sejarah sastra Indonesia.

Sayangnya buku ini tak memuat satu gambar pun. Padahal, gambar para sastrawan Lekra dan sampul bukunya akan menjadi nilai lebih yang signifikan terhadap buku ini. Gaya bahasa yang dipakai pun cenderung seperti makalah sehingga cepat membuat bosan bagi yang tidak terbiasa. Walaupun begitu, buku ini adalah hasil kerja raksasa dan kontribusi tak ternilai bagi sejarah sastra Indonesia. Asep Sambodja wafat dengan meninggalkan sebuah magnum opus.

Terakhir, Asep Sambodja mengutip ucapan Chairil Anwar dalam bukunya bahwa dalam sejarah sastra Indonesia, seharusnya “semua dapat tempat, semuanya harus dicatat” (hal.7).


___*
Pria yang bercita-cita menjadi pebisnis dan penulis ini lahir di Jakarta, 26 Maret 1988. Pernah menjuarai lomba esai Simposium Internasional SALAM UI, esai Kepemudaan yang diselenggarakan Kementerian Pemuda dan Olahraga & FLP, juara I esai anti Korupsi yang diselenggarakan oleh BEM FH UI, dan masih banyak lagi.  Pernah juga menjadi Most Active Translator di Opera Inc, perusahaan pencipta browser Opera (http://opera.com) dari Finlandia.
Temukan Pria ini di  08567081065 | @wahyuawaludin. 

No comments:

Post a Comment