Judul : Historiografi Sastra
Indonesia 1960-an
Indonesia 1960-an
Penulis : Asep Sambodja
Penerbit : Bukupop
Halaman : 212
Thn. Terbit : 2010
_____
Sejarah yang Hilang
Oleh: Wahyu Awaludin*
|“Ada yang hilang dalam sejarah sastra Indonesia 1960-an...”
-Asep Sambodja dalam
Historiografi Sastra Indonesia 1960-an halaman 4
Tanggal 17 Agustus 1950, D.N
Aidit, Njoto, M.S.Ashar, dan A.S Dharta mendirikan sebuah organisasi bernama
Lekra. Sayang, akibat huru-hara 1965-an yang menjadi tonggak awal berdirinya
Orde Baru, Lekra dilarang. Para sastrawannya dihilangkan dari sejarah sastra
Indonesia “versi resmi”. Tengoklah buku-buku sejarah sastra “versi resmi”. Ikhtisar Kesusastraan Indonesia Modern
karya Pamusuk Eneste misalnya, sama sekali tak mencantumkan nama-nama pengarang
Lekra. Seolah pengarang Lekra adalah para penjahat yang harus dibasmi dari
sejarah.
Perlu enam bulan penelitian dan
berkeliling ke Jakarta, Yogyakarta, dan Bandung untuk merampungkan buku ini.
Dan itu dilakukan Asep Sambodja saat ia sakit. Buku yang terbit pada tahun 2010
ini membuka tabir “sejarah yang hilang tersebut” ke dalam pentas kesusastraan
Indonesia secara terang-terangan.
Bagi Sambodja, tak ada alasan
untuk menyembunyikan sejarah sastra. Sambodja meyakini bahwa dalam menulis sejarah
sastra Indonesia, subyektivitas tiap penulis pasti muncul dengan sendirinya.
Namun, sebagai akademisi, seharusnya penulis (sejarah sastra) menempatkan diri
di tempat yang lebih independen. Kita harus adil pada kedua belah pihak, baik
Lekra maupun Manikebu. Dan langkah konkretnya adalah melepaskan “belenggu” dari
karya-karya para sastrawan Lekra.
Saat karya-karya itu lenyap –atau
sengaja dilenyapkan- dari buku-buku pelajaran, lenyap dari tanah airnya
sendiri, kita telah kehilangan aset budaya yang luar biasa besarnya. Dengan
entengnya kita memberangus naskah-naskah itu, sementara pemerintah Belanda bersusah-payah
mengangkut naskah kuno kita ke Leiden (hal.45). Sastrawan menciptakan sebuah
cerita dengan persepsi yang ia miliki –tidak terasing dengan kondisi sosial
politik pada saat itu. Oleh karena itu, karya-karya para sastrawan Lekra
sebenarnya dapat menjadi salah satu alternatif dalam memahami sejarah sastra
Indonesia khususnya –dan sejarah Indonesia umumnya. Bab-bab dalam buku ini
menjelaskan itu semua.
Buku ini terbagi menjadi lima
bagian. Setelah bab Pendahuluan, Asep Sambodja menjelaskan dengan gamblang apa
itu Lekra, Manikebu, dan apa konsep kesenian mereka. Setelah itu, di bab
selanjutnya, Asep Sambodja menerangkan
asal-muasal perselisihan Lekra-Manikebu. Bab selanjutnya menampilkan beberapa
profil sastrawan Lekra dan pembacaan kritis atas karya-karya mereka. Lalu Asep
Sambodja menutup buku ini dengan harapan bahwa “seluruh warga bangsa dapat
menerima dan benar-benar menghargai perbedaan” (hal.196).
Melihat penulisnya yang seorang
dosen Sastra Indonesia FIB UI, kualitas buku ini memang tak perlu diragukan
lagi. Analisisnya tajam tetapi cukup moderat dalam memandang kedua belah pihak.
Dengan referensi kira-kira berjumlah 162 buku, buku ini berkelas dan patut
menjadi rujukan. Kajian kritis terhadap karya-karya sastrawan Lekra-nya pun
sangat bagus dan menambah banyak wawasan kita. Banyak nama sastrawan yang
mungkin baru kita dengar muncul dalam buku ini, menandakan memang ada periode
“yang hilang” dalam sejarah sastra Indonesia.
Sayangnya buku ini tak memuat
satu gambar pun. Padahal, gambar para sastrawan Lekra dan sampul bukunya akan
menjadi nilai lebih yang signifikan terhadap buku ini. Gaya bahasa yang dipakai
pun cenderung seperti makalah sehingga cepat membuat bosan bagi yang tidak
terbiasa. Walaupun begitu, buku ini adalah hasil kerja raksasa dan kontribusi
tak ternilai bagi sejarah sastra Indonesia. Asep Sambodja wafat dengan
meninggalkan sebuah magnum opus.
Terakhir, Asep Sambodja mengutip ucapan Chairil
Anwar dalam bukunya bahwa dalam sejarah sastra Indonesia, seharusnya “semua
dapat tempat, semuanya harus dicatat” (hal.7).
___*
Pria yang bercita-cita menjadi pebisnis dan
penulis ini lahir di Jakarta, 26 Maret 1988. Pernah menjuarai lomba esai Simposium Internasional SALAM UI, esai Kepemudaan yang diselenggarakan Kementerian Pemuda dan
Olahraga & FLP, juara I esai anti Korupsi yang diselenggarakan oleh BEM FH UI,
dan masih banyak lagi. Pernah juga menjadi Most
Active Translator di Opera Inc,
perusahaan pencipta browser Opera (http://opera.com) dari
Finlandia.
Temukan Pria ini di 08567081065 |
@wahyuawaludin.
No comments:
Post a Comment